BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemikiran-pemikiran parsa filosof dari pada ajaran dan wahyu dari Allah sehingga
banyak ajaran Islam yang tiddak mereka akui karena menyelisihi akal menurut
prasangka mereka Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, satu
syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana
Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benarAkhirnya terpecahlah dan
berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan
para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah
kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga
melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak
benar terhadap ajaran Islam
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim
untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok
ini yaitu kelompok Mu'tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa
sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi
dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
B. Perumusan Masalah
Dalam
karya ilmiah ini penulis akan memaparkan pembahasan tentang teologi aliran
Mu’tazilah seperti pembahasan di bawah ini.
1.
Bagaimana
sejarah perkembangan aliran Mu’tazilah ?
2.
Apa
doktirn-doktrin yang menjadi ajaran aliran Mu’tazilah ?
3.
Siapa saja
tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah ?
C. Tujuan Penulisan
Dari
penjelasan di atas penulis bertujuan untuk memenuhi tugas akhir pada mata
kuliah Bahasa Indonesia.
D.
Manfaat
Penulisan
Untuk
memperdalam pemahaman mahasiswa agar mempunyai wawasan yang luas tentang
teologi aliran Mu’tazilah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Kemunculan
Sejarah munculnya mu’tazilah kelompok pemuja akal ini muncul
di kota Bashrah (IraQ), pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H,
tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifa
Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid
Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, nah
kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa
besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasi
asan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus
mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut
antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan
kepadanya. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin
berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka
mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun.
Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli
kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an
dan As Sunnah).
Oleh karena itu, tidaklah aneh bila
kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al
Qur’an, As Sunnah dan Ijma’) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala
hal. Bila
syariat bertentangan dengan akal menurut persangkaan mereka, maka sungguh
syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. Ini merupakan kaidah yang batil,
karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah akan perintahkan
kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan.
Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk
kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa:
59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus
para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang
benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih
utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur, dan banyak hujjah-hujjah lain yang
menunjukkan batilnya kaidah ini.
Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang
memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa
dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan
tabi’in.Asy-Syihristani berkata: (Suatu hari) datanglah seorang laki-laki
kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul
di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa
syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat
mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij.
Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap
pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh
terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun
dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana
ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini.
Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya
sebagai prinsip (dalam beragama)?” Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak
dalam permasalahan tersebut.
Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba
dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar
bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu
keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri
di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada
murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Washil
telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya
dengan sebutan Mu’tazilah. Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan
Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa
besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya.
Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut
fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna)”
B. Sebab Penamaannya
Para
Ulama telah berselisih tentang sebab penamaan kelompok (aliran) ini dengan nama
Mu'tazilah menjadi beberapa pendapat:
Pertama: Berpendapat bahwa sebab penamaannya
adalah karena berpisahnya Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid dari majlis dan
halaqohnya Al Hasan Al Bashry. Hal ini didasarkan oleh riwayat yang mengisahkan
bahwa ada seseorang yang menemui Al Hasan Al Bashry, lalu berkata:wahai imam
agama. Telah muncul pada zaman kita ini satu jamaah yang mengkafirkan pelaku
dosa besar dan dosa besar menurut mereka adalah kekafran yang mengeluarkan
pelakunya dari agama, dan mereka adalah Al Wa'iidiyah khowarij dan jamaah yang
menangguhkan pelaku dosa besar, dan dosa besar menurut mereka tidak mengganggu
(merusak) iman, bahkan amalan menurut mazhab mereka bukan termasuk rukun iman,
dan iman tidak rusak oleh kemaksiatan, sebagaiman tidak bermanfaat. Lalu Al Hasan merenung sebentar
tentang hal itu, dan sebelum beliau menjawab, berkata Waashl bin Atho': saya
tidak akan mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu mu'min dan tidak juga kafir,
akan tetapi dia di dalam satu kedudukan diantara dua kedudukan tersebut
(manzlah baina manzilatain), tidak mu'min dan tidak kafir.
Kemudian dia berdiri dan memisahkan diri ke satu tiang
dari tiang-tiang masjid menjelaskan jawabannya kepada para murid Al Hasan, lalu
berkata Al Hasan : telah berpisah (i'tizal) dari kita Washil, dan Amr bin Ubaid
mengikuti langkah Waashil, maka kedua orang ini beserta pengikutnya dinamakan
Mu'tazilah.
Berkata A Qodhi Abdul Jabaar Al Mu'tazily dalam
menafsirkan sebab penamaan mereka ini:telah terjadi dialog antara Waashil bin
Atho' dan Amr bin Ubaid dalam permasalahan ini -permasalahan pelaku dosa
besar-lalu Amr bin Ubaid kembali ke mazhabnya dan meninggalkan halaqoh Al Hasan
Al Bashry dan memisahkan diri, lalu mereka menamainya Mu'tazily, dan ini adalah
asal penggelaran Ahlul Adil dengan Mu'tazilah.
Kedua: Berpendapat
bahwa mereka dinamai demikian karena ucapan imam Qatadah kepada Utsman Ath
Thowil: siapa yang menghalangimu dari kami? apakah mereka Mu'tazilah yang telah
menghalangimu dari kami? Aku jawab:ya.
Berkata Ibnu Abl Izzy : dan mu'tazilah adalah Amr bin
Ubaid dan Waashil bin Atho' Al Ghozaal serta para pengikutnya, mereka dinamakan
demikian karena mereka memisahkan diri dari Al Jamaah setelah wafatnya Al Hasan
Al Bashry di awal-awal abad kedua dan mereka itu bermajlis sendiri dan
terpisah, sehngga berkata Qotadah dan yang lainnya: merekalah Mu'tazilah.
C.
Tokoh-tokoh
aliran Mu’tazilah
Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah banyak
jumlahnya dan masing-masing mempunyai pikiran dan ajaran-ajaran sendiri yang
berbeda-beda dengan tokoh sebelumnya atau tokoh-tokoh pada masanya, sehingga
masing-masing tokoh mempunyai aliran sendiri-sendiri. Dari segi geografis,
aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua, yaitu aliran Mu”tazilah Basrah dan aliran
Mu’tazilah Baghdad. Aliran Basrah dan yang pertama-tama mendirikan aliran
Mu”tazilah.
Tokoh-tokoh aliran Basrah antara lain :
·
Wasil bin ‘Ata al Ghazzal (80-131
H/699-748 M)
·
Abdul Huzail Muhammad bin al Huzail
al ‘Allaf (135-226 H/752-840 M)
·
Ibrahim bin Sayyar bin Hani an
Nazzaham (wafat 231 H/845 M)
·
al Jubbai (wafat 303 H/915 M)
Tokoh-tokoh aliran Baghdad antara lain :
·
Basyr bin al Mu’tamir (wafat 226
H/840 M)
·
al Khayat (wafat 300 H/912 M)
Kemudian pada masa-masa berikutnya lagi ialah al Qadhi Abdul
Jabbar (wafat 1024 M di Ray) dan az Zamachsyari (467-538 H/1075-1144 M).
D.
Doktrin
Mu’tazilah
Mempunyai doktrin yang selalu
dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip mereka
dibangun. Doktrin itu mereka sebut dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan
pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut dan sekaligus kami iringi dengan
bantahan cara pemahaman mereka mengenai ajaran keislaman mereka, sebagai
berikut :
1.
Tauhid
Yang mereka maksud dengan At-Tauhid
adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat Allah, dengan dalil bahwa
menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan untuk masing-masingnya
tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah, menurut mereka. Oleh karena itu
mereka menamakan diri dengan Ahlut-Tauhid atau Al-Munazihuuna lillah
(orang-orang yang mensucikan Allah).
Bantahannya :
a). Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dalil ini sangat lemah, bahkan
menjadi runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan ‘aqli yang menerangkan
tentang kebatilannya. mensifati dirinya sendiri dengan sifat-sifat Adapun dalil
sam’i bahwa Allah yang begitu banyak , padahal Dia Dzat Yang MahaTunggal.”
Allah berfirman: “Sesungguhnya adzab Rabbmu sangat dahsyat. Sesungguhnya Dialah
yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali), Dialah
Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang mempunyai ‘Arsy lagi Maha Mulia,
Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruuj: 12-16).
“Sucikanlah Nama Rabbmu Yang Maha
Tinggi, Yang Menciptakan dan Menyempurnakan (penciptaan-Nya), Yang Menentukan
taqdir (untuk masing-masing) dan Memberi Petunjuk, Yang Menumbuhkan rerumputan,
lalu Ia jadikan rerumputan itu kering kehitam-hitaman.” (Al-A’la: 1-5).
Adapun dalil ‘aqli: bahwa sifat-sifat
itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga ketika
sifat-sifat tersebut ditetapkan maka tidak menunjukkan bahwa yang disifati itu
lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat
yang disifati tersebut. Dan segala sesuatu yang ada ini pasti mempunyai berbagai
macam sifat.
b). Menetapkan sifat-sifat Allah tanpa
menyerupakannya dengan sifat makhluq bukanlah bentuk kesyirikan. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Ar-Risalah Al-Hamawiyah: “Menetapkan
sifat-sifat Allah tidak termasuk meniadakan kesucian Allah, tidak pula menyelisihi
tauhid, atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.” Bahkan ini termasuk
konsekuensi dari tauhid al-asma wash-shifat.
Sedangkan yang meniadakannya, justru merekalah orang-orang
yang terjerumus ke dalam kesyirikan. Karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah
tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat
makhluk-Nya. Lebih dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang
sempurna itu, sungguh mereka menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh
kekurangan dan tidak ada wujudnya.
Karena tidak mungkin sesuatu itu ada namun tidak mempunyai
sifat sama sekali. Oleh karena itu Ibnul-Qayyim rahimahullah di dalam
Nuniyyah-nya menjuluki mereka dengan ‘Abidul-Ma’duum (penyembah sesuatu yang
tidak ada wujudnya). Atas dasar ini mereka lebih tepat disebut dengan
Jahmiyyah, Mu’aththilah, dan penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya.
2.
Al-‘adl (
Keadilan )
Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan
bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan . Dalilnya kejelekan
datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah adalah firman
Allah : “Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205). “Dan
Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7). Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan
yang tidak bisa dipisahkan. sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap
kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi
(mentaqdirkannya) oleh karena itu mereka menamakan diri mereka dengan nama
Ahlul ‘Adl atau Al-‘Adliyyah.
Bantahannya :
a)
As-Syaikh Yahya bin Abil-Khair
Al-‘imrani berkata : kita tidak sepakat bahwa kesukaan dan keinginan itu satu,
dasarnya adalah dalam Al-Qur’an Allah berfirman : “Maka sesungguhnya Allah
tidak menyukai Orang-orang kafir”.
Padahal kita semua tahu Allah-lah yang menginginkan adanya
orang kafir tersebut dan Dia-lah yang menciptakan mereka.
b)
Terlebih lagi Allah telah menyatakan
bahwasanya apa yang dikehendaki dan dikerjakan hamba tidak lepas dari kehendak
dan ciptaan-Nya, Allah berfirman: “ Dan kalian tidak akan mampu menghendaki
(jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah”. ( Al – Ihsan : 30). “Padahal
Allah-lah yang meciptakan kalian dan yang kalian perbuat”.(Ash-Shaafaat :
96).
Dari sini kita tahu bahwa ternyata
istilah keadilan itu mereka jadikan sebagai yang merupakan bagian dari takdir
Allah , kedok untuk mengingkari kehendak Allah. Atas dasar inilah mereka lebih
pantas dikatakan Qadariyyah, Majusyiah, dan orang-orang yang zalim.
3.
Al-Wa’du Wal-Wa’id
Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib
bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar
dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi
pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar,
kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya.
Karena
inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Bantahannya :
1)
Seseorang yang beramal shalih
(sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya (seperti yang dijanjikan Allah)
sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan tidaklah pantas bagi makhluk untuk
mewajibkan yang demikian itu, karena termasuk pelecehan terhadap Rububiyyah-Nya
dan sebagai bentuk keraguan kepada Allah terhadap Firman – Nya : “Sesungguhnya Allah tidak menyelisihi janji–Nya”.(Ali-Imran:9)
Bahkan Allah mewajibkan bagi diri-Nya sendiri sebagai keutamaan untuk para
hamba-Nya.
Adapun orang-orang yang mendapatkan
ancaman dari Allah karena dosa besarnya (di bawah syirik) dan meninggal dunia
dalam keadaan seperti itu, maka sesuai dengan kehendak Allah. Dia Maha berhak
untuk melaksanakan ancaman-Nya dan Maha berhak pula untuk tidak
melaksanakannya, karena Dia telah mensifati diri-Nya dengan Maha Pemaaf, Maha
Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Terlebih lagi Dia telah
menyatakan : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (bila
pelakunya meninggal dunia belum bertaubat darinya) dan mengampuni dosa yang di
bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48).
2). Adapun
pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah syirik) kekal abadi di
An-Naar, maka sangat bertentangan dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat
48 di atas, dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW yang artinya:
“Telah datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar gembira, bahwasanya siapa saja
dari umatku yang meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada Allah
niscaya akan masuk ke dalam al-jannah.” Aku (Abu Dzar) berkata: “Walaupun
berzina dan mencuri?” Beliau menjawab: “ Walaupun berzina dan mencuri “ ( HR.
Al-Bukhori Dan muslim dari sahabat Abu Dzar Al-Ghiffari ) namun meskipun
mungkin mereka harus masuk neraka terlebih dahulu.
4. Suatu
Keadaan di antara Dua keadaan (Posisi di antara 2 posisi )
Yang mereka maksud adalah, bahwasanya
keimanan itu satu dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang
melakukan dosa besar (walaupun di bawah syirik) maka telah keluar dari
keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada suatu
keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan dan kekafiran).
Bantahannya :
v Bahwasanya
keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan
kemaksiatan, sebagaimana firman Allah : “Dan jika dibacakan ayat-ayat-Nya
Kepada mereka, maka bertambahlah keimanan mereka”. ( Al-Anfal : 2 ). Dan
juga firman-Nya : “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara
mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang
bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman,
maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun
orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu
bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka
mati dalam keadaan kafir”. ( At-Taubah : 124-125 ).
v Dan
dalam Firman-Nya yang lain juga : “(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah
dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya
manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah
kepada mereka’, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka
menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik
Pelindung’.” (Ali ‘Imran: 173).
v Atas
dasar ini, pelaku dosa besar (di bawah syirik) tidaklah bisa dikeluarkan dari
keimanan secara mutlak. Bahkan ia masih sebagai mukmin namun kurang iman,
karena Allah masih menyebut dua golongan yang saling bertempur (padahal ini
termasuk dosa besar) dengan sebutan orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam
firman-Nya: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang yang beriman saling
bertempur, maka damaikanlah antara keduanya.” (Al-Hujurat: 9)
5. Amar
Ma’ruf Nahi Mungkar
Di antara kandungan landasan ini adalah wajibnya memberontak
terhadap pemerintah (muslim) yang zalim. Bantahannya : Memberontak
terhadap pemerintah muslim yang zalim merupakan prinsip sesat yang bertentangan
dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Sebagaimana Allah berfirman : “Wahai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri
(pimpinan) di antara kalian.” (An-Nisa: 59) Rasulullahbersabda: “Akan datang
setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan
sunnahku, dan sungguh akan ada di antara mereka yang berhati setan namun
bertubuh manusia.” (Hudzaifah berkata): “Wahai Rasulullah, apa yang kuperbuat
jika aku mendapati mereka?” Beliau menjawab: “Hendaknya engkau mendengar
(perintahnya) dan menaatinya, walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu
diambil.” (HR. Muslim, dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman)
Adapun ciri-ciri Mu’tazilah ini ialah
suka berdebat, terutama di hadapan umum mereka yakin akan kekuatan fikiran,
karena itulah suka berdebat dengan siapa saja yang berbeda pendapat dengannya.
Sekitar dua abad lamanya ajaran-ajaran
mu’tazilah ini berpengaruh, karena diikuti atau didukung oleh penguasa waktu
itu. Masalah-masalah
yang diperdebatkan antara lain :
Ø Sifat-sifat
allah itu ada atau tidak
Ø Baik
dan buruk itu ditetapkan berdasarkan syara’ atau akal
Ø Orang
yang berdosa besar akan kekal di neraka atau tidak
Ø Perbuatan
manusia itu dijadikan oleh allah
Ø Al-qur’an
itu makhluk atau tidak
Ø Allah
itu bias dilihat di akhirat nanti atau tidak
Ø Alam
itu qodim atau hadits
Ø Allah
wajib membuat yang baik (shilah) dan yang lebih baik (ashlah)
E.
Pandangan
Ulama
Para Ulama banyak mendepenisikan
kalimat ini, sebagian ulama mendefinisikannya sebagai “satu kelompok dari
qadariyah yang menyelisihi pendapat umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku
dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho' dan Amru bin Ubaid pada zaman Al
Hasan Al Bashry”. Suatu persi menyebutkan munculnya Mu’tazilah adalah dari
kisah Hasan Al-Bashri (105-110 H), yang berbeda pendapat dengan muridnya yang
bernama washil bin ‘atha’ (80-131) pada masalah pelaku dosa besar. Maka dengan I’tizalnya’ dari majlis
Hasan Al-bashri dinamakanlah Wasil dan orang-orang yang sepaham dengannya
dengan Mu’tazilah.
Mereka begitu hebat melobi dan memutar kata sehingga bisa
memegang pemerintahan islam selama kurang lebih dua ratus tahun. Sebagaimana
berselisih faham Hasan bashri dengan muridnya berselisih pula Abu Hasan
Al-asy'ari (260-330) dengan gurunya yang bernama Abu Ali Al-juba’I (235-303)
pada masalah sifat Allah swt yaitu wajibnya Allah swt berbuat baik
Semua aliran
dalam teologi Islam, baik Asy`ariah, Maturidiah, apalagi Mu`tazilah sama-sama mempergunakan
akal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teologi yang timbul dikalangan umat
Islam. Perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah perbedaan dalam derajat
kekuatan yang diberikan kepada akal. Kalau Mu`tazilah berpendapat bahwa akal
mempunyai daya yang kuat, Asy`ariah sebaliknya berpendapat bahwa akal mempunyai
daya yang lemah. Semua aliran itu berpegang kepda wahyu, dalam hal ini
perbedaan yang terdapat antara
aliran-aliran itu hanyalah perbedaan dalam interpretasi mengenai teks ayat-ayat
Al-Quran dan hadist. Perbedaan dalam interpretasi inilah yang kemudian
menimbulkan aliran-aliran yang berlainan dalam kalangan umat Islam seperti yang
tersebut diatas.Mu`tazilah mempunyai lima ajaran dasar, perintah bernuat baik
dan larangan berbuat jahat,dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum
Mu`tazilah saja, tetapi oleh golongan-golongan umat Islam lainnya. Aliran kaum
Mu`tazilah dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari ajaranIslam, dan
dengan demikian tak disenangi oleh sebagian umat Islam, terutama diIndonesia.
Pandangan demikian timbul karena kaum mu`tazilah dianggap tidak percayakepada
wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh rasio. Namun,
Sebagaimanadiketahui kaum Mu`tazilah tidak hanya memakai argumen rasional,
tetapi juga memakaiayat-ayat Al-Quran dan hadist untuk menahan pendirian
mereka.
·
Pengaruh positif dari aliran mu’tasilah
Aliran Mu’tazilah terdiri atas lima prinsip utama yaitu :
1.
Tauhid
2.
Keadilan
(al-‘adl)
3.
Janji dan
ancaman (Al-Wa’du Wal-Wa’id)
4.
Tempat
diantara dua tempat (al Manzilatu bainal manzilatain)
5.
Menyuruh
kebaikan dan melarang segala kemungkaran (amar ma’ruf nahi mungkar)
Dari lima ajaran yang diajarkan oleh aliran Mu’tazilah,
sudah cukup menjadi bukti tentang kesesatan aliran tersebut dan sangat
bertentangan dengan Al-qur’an dan As-sunnah. Oleh karena itu, untuk menghindari
terjerumusnya kita ke dalam aliran-aliran sesat yang sering bermunculan dari
zaman ke zaman, hendaknyalah kita selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dan
berpegang teguh kepada Al-qur’an dan As-sunnah.
F.
Analisis kelompok
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di Basrah, Irak
pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M)
berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin
Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang
berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran
Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi
Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin.
Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi
di antara dua posisi).
No comments:
Post a Comment