TUGAS
“PSIKOLOGI AGAMA”
Di Susun Oleh :
MUTIARA
Dosen Pembimbing :
Dra. Ratnawati,M.pd.
NIP.196709111994032002
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) CURUP
2013
1.
HUBUNGAN KEBUDAYAAN DAN TRADISI KEAGAMAAN
A. Pengertian Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah
yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi dan akal.
Kebudayaan diadakan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.
Adapun istilah culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama
artinya dengan kebudayaan, berasal dari bahasa Latin colere. Artinya
mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah bertani. Dari asal arti
tersebut yaitu colere kemudian culture, diartikan sebagai daya
dan kegiatan manusia untuk mengubah dan mengolah alam.
Adapun beberapa
ahli merumuskan kebudayaan antara lain:
Ø E. B Tylor
(1871)
Menurut
E.B Tylor, kebudayaan adalah komplek yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat, istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Ø Selo Soemardjan
dan Soelaeman Soemardi
Menurut tokoh
ini, kebudayaan sebagai suatu hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat antara lain yaitu sebagai berikut:
Ø Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan
kebudayaan kebedaan atau masyarakat.
Ø Kasa meliputi jiwa manusia mewujudkan segaa
kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah
kemasyarakatan dalam arti yang kuat, didalamnya termasuk agama ideologi,
kebatinan, kesenian, dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia
yang hidup sebagai anggota masyara.
Ø Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan
berfikir orang-orang yang hidup bermasyarakat yang antara lain menghasilkan
filsafat serta ilmu pengetahuan cipta bisa terwujud murni, maupun yang telah
disusun untuk berlangsung diamalkan dalam kehidupan masyarakat.
v Fungsi Kebudayaan
Fungsi
kebudayaan sangat besar bagi manusia dan masyarakat antara lain:
1.
Manusia dan
masyarakat memerlukan kepuasan, baik di bidang spiritual maupun materiil.
Kebutuhan ini sebagian besar dipenuhi oleh kebudayaan yang bersumber pada
masyarakat itu sendiri.
2.
Hasil karya masyarakat menghasilkan teknologi
dan kebudayaan kebendaan mempunyai kegunaan utama di dalam melindungi
masyarakat terhadap lingkungan dalamnya.
3.
Karsa
masyarakat mewujudkan norma dan nilai-nilai sosial yang sangat perlu untuk
mengadakan tata tertib dalam pergaulan kemasyarakatan. Jadi fungsi kebudayaan
disini agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat,
menentukan sikapnya kalau berhubungan
dengan orang lain.
Para ahli antropologi
membagi kebudayaan dalam bentuk dan isi. Menurut
Koentjaraningrat bentuk kebudayaan terdiri atas:
1.
Sistem
kebudayaan (cultural system)
Sistem
kebudayaan berbentuk gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai budaya, norma-norma,
pandangan-pandangan yang bentuknya abstrak serta berada dalam pikiran para
pemangku kebudayaan yang bersangkutan.
2.
Sistem sosial (social system)
Sistem sosial
berwujud aktifitas, tingkah laku, prilaku, upacara-upacara ritual-ritual yang
wujudnya lebih konkret. Sistem sosial adaah bentuk kebudayaan dalam wujud yang
telah konkret dan dapat diamati.
3.
Benda-benda budaya (material system)
Benda-benda
budaya atau kebudayaan fisik atau kebudayaan material merupakan hasil tingkah
laku dan karya pemangku kebudayaan yang bersangkutan.
Adapun isi kebudayaan menurut Koentharaningrat terdiri atas tujuh
unsur, yaitu; bahasa, sistem pengetahuan religi dan kesenian. Dengan demikian
dilihat dari bentuk dan isi. Kebudayaan merupakan lingkungan yang terbentuk
oleh norma-norma dan nilai-nilai yang dipelihara oleh masyarakat pendukungnya.
Nilai-nilai dan norma-norma menjadi pedoman hidup itu berkembang dalam berbagai
kebutuhan masyarakat, sehingga terbentuk dalam suatu sistem sosial.
Contohnya; sistem ini selanjutnya terwujud pula
benda-benda kebudayaan dan bentuk benda fisik. Contohnya adalah penyebaran
agama, kenusantara yang sampai saat ini mempengaruhi sikap keagamaan masyarakat
Indonesia. Khususnya pengaruh tradisi keagamaan masa lalu ikit mempengaruhi
sikap keagamaan masyarakat.
Menurut
Robert Monk hubungan antara sikap
keagamaan dan tradisi keagamaan adalah sikap keagamaan perorangan dalam
masyarakat yang menganur suatu keyakinan
agama merupakan unsur penopang bagi terbentuknya tradisi keagamaan. Tradisi
keagamaan menurut Monk menunjukan kepada kompleksitas pola-pola tingkah laku (sikap-sikap
kepercayaan atau keyakinan yang berfungsi untuk menolak atau menanti suatu
nilai penting (nilai-nilai) oleh sekelompok orang yang dipelihara dan
diteruskan secara berkesinambungan selama periode-periode tertentu.
v PENGERTIAN TRADISI KEAGAMAAN
Tradisi menurut
parsudi Suparlan, merupakan unsur
sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah.
Secara garis besar tradisi sebagai kerangka acuan norma dalam masyarakat yang
disebut pranata. Pranata ini dapat bercorak rasional, terbuka dan umum. Para
sosiolog mengidentifikasikan adanya pranata primer. Pranata primer ini
merupakan kerangka acuan norma yang mendasar dan hakiki dalam kehidupan menusia
itu sendiri. Pranata primer berhubungan dengan kehormatan dan harga diri, jati
diri serta kelestarian masyarakatnya. Karena itu, pranata ini tidak mudah dapat
berubah begitu saja. Pranata primer ini lebih mengakar pada kehidupan
masyarakat.
Oleh karena itu pranata primer bercorak
menekankan pada pentingnya kepentingan dan kebersamaan serta bersifat tertutup
atau pribadi, seperti pranata-pranata keluarga, kekerabatan, keagamaan
pertemanan. Dari hal tersebut, tradisi keagamaan termasuk kedalam pranata
primer. Hal ini dikarenakan antara lain menurut Rodalsav A. Tsanoff, pranata
keagamaan ini mengandung unsur-unsur yang berkaitan dengan ke-Tuhanan atau
keyakinan, tindak keagamaan, perasaan-perasaan yang bersifat mistik,
penyembahan kepada yang suci dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang hakiki.
Dengan demikian, tradisi keagamaan sulit berubah dan mengandung nilai-nilai
luhur yang berkaitan erat dengan agama yang dianut masyarakat.
Tradisi keagamaan bersumber dari norma-norma
yang termuat dari kitab suci. Agama yang terlihat sebagai pusat kebudayaan dan
penyaji aspek kebudayaan yang tertinggi dan suci, menunjukkan mode kesadaran
manusia yang menyangkut bentuk-bentuk simbolik sendiri. Agama juga merupakan ajaran yang luhur dari
Tuhan pada gilirannya juga akan membentuk sebuah tatanan baru. Setiap agama
hadir di dunia berfungsi sebagai pedonman dan peraturan bagi tata cara hidup
umat manusia. Keinginan mengejawantahkan ajaran agama di dalam kehidupannya,
seseorang akan menerjemahkan ajaran kitab suci dalam praktik hidup mereka
sehari-hari.
Ketika telah
diterjemahkan menjadi rangkaian pemikiran dan perilaku, ia terus dipertahankan
sehingga membentuk tradisi beragama. Dari tradisi agama dalam konteks individu,
karena dari hasil interaksi dan sifat sosial setiap individu, maka lahirlah
tradisi masyarakat. Berbagai praktik agama sangat lazim muncul sebagai tradisi
masyarakat, sehingga akan terbentuk tradisi agama yang sangat kuat dan selalu
terpelihara dengan baik dalam sebuah masyrakat. Masyarakat yang selalu
mempertahankan tradisi agama sebagai bagian dari kehidupannya yang akan membentuk
sebuah masyarakat religious, yang didalamnya terdiri dari anggota-anggota
masyarakat dengan agama dan kesadaran mengamalkan agama yang berbeda.
Dalam kaitannya dengan
pembentukkan tradisi keagamaan, secara konkreat, pernyataan koentjaraningrat dapat
digambarkan melalui proses penyiaran agama, hingga terbentuk suatu komunitas
keagamaan. sebagai contoh, masuknya agama-agama ke Nusantara dalam kurun waktu
yang berbeda, namun pengaruhnya terhadap perilaku masyarakat pendukungnya di
Indonesia masih terlihat nyata.
Sikap jiwa yang umum adalah sikap
bersungguh-sungguh, jauh dari olok-olok dan kekesalan. Jika seseorang menderita
cobaan atau musibah, ia tidak akan mengeluh, karena disamping penderitaan itu,
ia mempunyai jalan untuk terlepas dari pada kesukaran tersebut. Jiwa keagamaan bukan secara langsung sebagai faktor bawaan atau diwariskan
secara turun temurun, melainkan terbentuknya dari berbagai unsur kejiwaan
lainnya yang mencakup kognitif, afektif, dan konatif.
Pada garis
besarnya teori mengungkapkan bahwa sumber jiwa keagamaan berasal dari faktor
intern dan faktor ekstern manusia. Pendapat pertama menyatakan bahwa manusia
adalah makhluk beragama, karena manusia sudah memiliki potensi untuk beragama.
Potensi tersebut termuat dalam aspek kejiwaan manusia seperti naluri, akal,
perasaan maupun kehendak. Sebaliknya teori kedua menyatakan bahwa jiwa
keagamaan manusia bersumber dari faktor ekstern. Manusia terdorong untuk
beragama karena pengaruh faktor luar dirinya, seperti rasa takut, rasa ketergantungan
ataupun rasa bersalah. Faktor inilah yang menurut pendukung teori tersebut
kemudian mendorong manusia menciptakan suatu tata cara pemujaan dan dikenal
dengan agama.
Di luarpun tradisi agama
Kristen mendapatkan bahwa tokoh-tokoh agama yang berpengaruh memiliki
kekuatan-kekuatan paranormal, termasuk ESP (kekuatan di luar indera) dan
menganggap kekuatan-kekutan itu sebagai bukti atas kesucian mereka. Dalam beberapa
tradisi agama kejadian-kejadian paranormal seperti itu, baik mengenai ESP,
penyembuhan atau mengenai peristiwa kealaman lainnya, sering dianggap sebagai
bukti atas kesucian orang yang menimbulkan kejadian itu. Meskipun dalam banyak
tradisi agama terdapat pendapat yang mengatakan bahwa kekuatan-kekuatan
paranormal bisa merupakan tanda bagi orang-orang suci, namun pada tradisi agama
yang sama juga terdapat pendapat yang mengatakan bahwa kekuatan-kekuatan itu
bisa juga merupakan tanda bagi orang yang tidak suci.
Sehingga dengan pemahaman
agama akan mendorong para penganutnya mentaati dan mengamalkan nilai-nilai
ajaran agama yang dianutnya selalu merasa terpanggil untuk memenuhi tuntutan
agama yang dipilih dan diyakininya. Setidaknya ada semacam kebanggaan dalam
diri terhadap keyakinan itu, serta berusaha mewujudkannya dalam segala aktivitas
kehidupannya.
Secara
garis besarnya tradisi sebagai kerangka acuan norma dalam masyarakat disebut
pranata. Pranata terdapat dua macam yaitu :
1. Pranata Primer
Pranata
ini merupakan kerangka acuan norma yang mendasar dan hakiki dalam kehidupan
manusia itu sendiri. Pranata ini berhubungan dengan kehormatan dan harga diri,
jati diri serta kelestarian masyarakat. Sehingga pranata ini tidak mudah dapat
berubah.
2. Pranata
Sekunder
Pranata ini bercorak rasional, terbuka dan
umum, kompetitif dan konflik yang menekankan legalitas, seperti pranata
politik, pranata pemerintahan, ekonomi dan pasar, berbagai pranata hukum dan
keterkaitan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Pranata ini dapat dengan
mudah diubah struktur dan peranan hubungan antar peranannya maupun norma-norma
ang berkaitan dengan hal itu. Pranata ini bersifat fleksibel, mudah berubah
sesuai dengan situasi yang diinginkan oleh pendukkungnya.
Melihat dari peranan dan struktur serta
fungsinya, peranan primer lebih mengakar pada kehidupan masyarakat. Oleh karena
itu, pranata primer bercorak menekankan pada pentingnya keyakinan dan
kebersamaanserta bersifat tertutup atau pribadi, seperti pranata- pranata
keluarga, kekerabatan, keagamaan, pertemanan atau persahabatan. (Parsudi
Suparlan, 1995:5-6). Dari pernyataan tersebut sangatlah jelas bahwa
tradisi keagamaan termasuk pada pranata primer. Sehingga tradisi tersebut
sangat sulit untuk berubah.
2.
HUBUNGAN SIKAP KEAGAAN DAN TRADISI KEAGAMAAN
v PENGERTIAN SIKAP KEAGAAN
DAN TRADISI KEAGAA
Tradisi keagamaan dan sikap keagamaan saling mempengaruhi, sikap keagamaan
mendukung terbentuknya tradisi keagamaan, sedangkan tradisi keagamaan sebagai
lingkungan kehidupan turut memberi nilai-nilai, norma-norma pola tingkah laku
keagamaan kepada seseorang. Dengan demikian, tradisi keagamaan memberi pengaruh
dalam membentuk pengalaman dan kesadaran agama sehingga terbentuk dalam sikap
keagamaan pada diri seseorang yang hidup dalam lingkungan
tradisi keagamaan tertentu.
Sikap keagamaan yang terbentuk oleh tradisi keagamaan merupakan bagian dari
pernyataan jati diri seseorang dalam kaitan dengan agama yang dianutnya. Sikap
keagamaan ini akan ikut mempengaruhi cara berpikir, cita rasa, ataupun
penilaian seseorang terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan agama dan tradisi keagamaan.
Dalam pandangan Robert
C. Monk memiliki dua fungsi utama yang mempunyai peran ganda Yaitu bagi
masyarakat maupun individu yaitu antara lain:
PERTAMA adalah sebagai kekuatan yang mampu
membuat kestabilan dan keterpaduan masyarakat maupun individu.
KEDUA yaitu tradisi keagamaan berfungsi
sebagai agen perubahan dalam masyarakat atau diri individu, bahkan dalam situasi
terjadinya konfilik sekalipun sikap dan keberagamaan seseorang atau sekelompok orang bisa berubah dan
berkembang sejalan dengan perkembangan budaya dimana agama itu hidup dan
berkembang.
Demikian pula budaya mengalami perkembangan dan tranformasi transformasi budaya merupakan perubahan yang menyangkut
nilai-nilai dan struktural sosial proses perubahan sturuktur sosial akan menyangkut masalah-masalah disiplin
sosial, solidaritas sosial, keadilan sosial, system sosial, mobilitas sosial dan
tindakan-tindakan keagamaant ranformasi budaya yang tidak berakar pada nilai budya bangsa yang beragam
akan mengendorkan disiplin sosial dan solidaritas sosial, dan pada gilirannya
unsur keadilan sosial akan sukar diwujudkan.
Menurut
Koentjaraningrat, kebudayaan di lihat dari bentuknya :
Ø Sisitem kebudayaan
Berwujud
gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai budaya, norma dan pandangan yang
bentuknya abstrak serta berada dalam pikiran para pemangku lebudayaan yang
bersan
Ø System Sosial
Berwujus
aktivitas dan tingkah laku, perilaku, ucapan-ucapan yang lebih konkrit.
Ø Benda-Benda Budaya
Benda budaya
merupakan hasil-hasil tingkah laku dan karya pemangku kebudayaan yang
bersangkutan,Sikap keagamaan mendukung terbentuknya tradisi
keagamaan, sedangkan, sedangkan tradisi keagamaan sebagai lingkuangan kehidupan
turut memeberi nilai-nilai, norma, pola tingkah laku keagamaan kepada
seseorang.
3.
PENGARUH KEBUDAYAAN ERA GLOBALISASI TERHADAP
PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN.
Kemajuan dan kecanggihan di era globalisasi ini
menjadikan manusia hisup di satu kota. Batas Negara sudah tidak penghlang bagi
manusia untuk saling berhubungan. Sehingga segala sesuatu yang sebelumnya
dianggap sebagai pemilik sautu bangsa tertentu akan terangkat menjadi milik
bersama.
Dalam kaitannya dalam jiwa keagamaan, barang
kali dampak glbalisasi itu dapat di lihat melalui hubungannya dengan perubahan
sikap antara lain:
Prof. Dr.
Mar’at mengemukakan beberapa teori mengenai perubahan
sikap ini. Mennurut teori yang di kemukakan oleh Osgood dan Tannen Baum,
perubahan sikap akan terjadi jika terjadi persamaan persepsi pada diri
seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu. Hal ini berarti apabila pengaruh
globalisasi dengan segala muatannya di ilai baik oleh individu maupun masyarkat
maka mereka akan menerimanya.
Secara fenomenal kebudayaan dalam era globalisasi
mengarah kepada nilai-nilai yang besar pengaruhnya tehadap jiwa kwagamaan,
khususnya di kalangan generasi muda meskipun pada sisi-sisi tertentu kehidupan
tradisi keagamaan tampak meningkatdalam kesemarakannya, namun dalam kehidupan
global yang cenderung sekuler barang kali akan ada pengaruhnya terhadap
perumbuhan jiwa keagamaan para generasi muda. Paling tidak
ada kecenderungan yang tampak :
- Muncul sikap toleransi yang tinggi terhadap perbedaan agama. Sikap toleransi biasanya di jumpai di kalangan keolompok uang di sebut moderat.
- Muncul sikap fanatic keagamaan sedangkan sikap fanaftik keagamaan identik dengan kelompok fundamental.
Era globalisasi
memberikan perubahan besar pada tatanan dunia secara menyeluruh dan tatanan itu
di hadapi bersama sebagai suatu perubahan yang wajar. Sebab mau tudak mau siap
tidak siap perubahan itu di perkirakan akan terjadi. Di kala itu, manusia di
hadapkan pada peradaban umat manusia. di sisi lain manusia di hadapkan kepada
malapetaka sebagai dampak perkembangan dan kemajuan modernisasi dan
perkembangan teknologi itu sendiri.
Pada garis besarnya teori mengungkapkan bahwa
sumber jiwa keagamaan berdasarkan factor intern dan factor ekstern manusia.
pendapat pertama menyatakan bahwa manusia adalah homo religius (makhluk beragama)
karena manusia sudah memiliki jiwa untuk beragama. Potensi tersebut bersumber
dair faktir intern manusia yang termuat dalam aspek kejiwaan manusia seperti
nalauri, akal perasaan maupun kehendak. Teori kedua menyatakan bahwa kejiwaaan
manusia bersumber dari factor ekstern. Manusia terdorong untuk beragama karena
factor di luar dirinya seperti rasa takut, dan rasa ketergantungan ataupun rasa
bersalah.
Kedua pendekatan itu tampak berbeda, namun
keduanya mengingkari bahwa secara psikologis manusia sukit untuk di pisahkan dari
agama. Pengaruh psikologis ini pula yang tercermin dalam sikap dadn tingkah
laku keagamaan manusia, baik dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan
sosialnya. Dalam kehidupan manusia sebagai individu, pengaruh psikologi itu membentuk
keyakinan dalam diriya dan menampakan pola tingkah laku sebagai realisasi dari
keyakinan tersebut.sedangkan dalam kehidupan sosial keyakinan dan pola tingkah
laku tersebut mendorong manusia untuk melahirkan norma-norma dan pranata
keagamaan sebagai pedoman dansarana kehidupan beragama di mas.yarakat.
Motivasi
memiliki 4 peran dalam kehidupan manusia yaitu :
1.
Motivasi
berberan sebagai pendorong manusia dalam melakukan sesuatu
2.
Motivasi
berberan sebagai penentu arah tujuan
3.
Motivasi
berperan sebagai penyheleksi perbuatan yang akan di lakukan oleh manusia
4.
Motivasi
berberan sebagai penguji sikap manusia dakam nerbuat termasuk perbuatan dakam
beragama.
Agama sebagai
bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifa adikodrati (superanaural) ternyata kan
menyertai manusia dalam runag lingkup kehidupan yang luas. Agama meiliki
nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang perorang atau hubungannya
dalam masrakat. Selain itu agama juga memberi dampak bagi kehidupan
sehari-sehari
1.
Motif
Intrinsik (dalam diri)
Dalam kehidupan sehari-sehari sering kita
jumpai ada seseorang yang tak mampu menahan memenuhi kebutuhan dirinya. Dakam
kondisi seperti itu akan terjadi pertentangan (konflik) dalam batin.
Pertentangan ini akan menimbulkan ketidakseimbangan dala kehidupan rohani yang
dalam kesehatan mental di sebut kekusutan rohani atau kekusutan fungsional.
Kesehatan mental adalah suatu kondisi batin
yang senantiasa berada dalam keadaan tenang, aman, dan tentram. Upaya untuk
menemukan ketenangan batin dapat di lakukan antara lain melalui pnyesusaian
diri secara resignasi (penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan).
Cukup logis jika setiap ajaran agama mewajibkan
pengnutnya untuk melaksanakan ajarannya secara rutin. Bentuk pelaksanaan ibadah
agama, paling tidak ikut berpengaruh dalam menakan keluhuran budi yang pada
puncaknya akan mneimbulkan rasa sukses pengabdi Tuhan yang setia. Tindak ibadah
setidaknya akan memberikan rasa bahwa hidup menjadi lebih bermakna.
2. Motif
Ekstrinsik (luar diri)
Motif ekstrinsik ini di akibatkan oleh pengaruh
era globalisasi yang memberikan perubahan besar pada tatanan dunia secara
menyeluruh. Dalam kondisi seperti itu, manusia akan mengalami konflik batin
secara besar-besaran. Kaerana sebagai damoak dari ketidakseimbangan antara
kemempuan iptek yang menghasilkan kebudayaan materi dengan kekosongan rohani.
Namun kegoncangan batin dapat pula mendorong
manusia untuk memperturutkan khayalan semuanya. Golongan ini mungkin akan tetap
bertahan dan lrut dalam ketertarikannya terhadap kecanggihan teknologi.
Sementara itu nilai-nilai tradisional pun akan
mengalami penggeseran. Manusia mengalami proses
perubahan sisitem nilai. Bahkan mulai kehilangan pegangan hidup yang bersumber
dari tradisi masyarakatnya.Secara fenomenal, kebdayaan dalam era global
mengarah pada nilai-nilai sekuler yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan
kejiwaan, khususnya generasi muda.
No comments:
Post a Comment